WELCOME

Wilujeng Sumping Untuk Anggota dan Saudara Sesama Pencinta Alam dan Pegiat Alam

Minggu, 12 April 2009

TRAGEDI SITU GINTUNG

Tragedi Situ gintung yang terjadi pada jum’at dini hari tanggal 27 maret 2009, membuat bangsa ini kembali terpana dan semakin menambah daftar bencana di Indonesia yang sungguh tak terduga dan memprihatinkan. Keindahan alam Situ Gintung lenyap dalam hitungan detik ketika salah satu sisi badan bendung (tanggul) jebol akibat tidak mampu menahan luapan air di dalam situ. Menurut perkiraan kapasitas Situ Gintung 2 juta meter kubik dan pada saat jebol diperkirakan air yang ditampung melebihi kapasitas setelah hujan lebat bahkan disertai butiran es.
Dalam upaya membantu pencarian korban tim dari Mahatva dan Sar unpad mengirimkan beberapa orang relawan ke lokasi bencana. Suasana riuh sirine terdengar ketika tim Mahatva yang terdiri dari Bajay, Aciel, Zenny, Babas dan Pipit tiba di lokasi yang terletak di STIE Ahmad Dahlan (STIE AD), Universitas yang tepat berada di depan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang terkena dampak langsung bencana Situ Gintung. Tim diterima oleh Alpiniste (pencinta alam STIE AD), awalnya tim ditempatkan di bagian logistik dalam urusan sandang pengungsi, tak lama setelah mendapatkan info dari tim SAR Unpad kami merapat ke UMJ tepatnya di sekretariat STACIA (pencinta alam UMJ), disana kami bergabung dalam tim evakuasi korban.
Di secretariat STACIA dan di tempat pengungsian korban kami mendapatkan info tentang kronologis tragedi Situ Gintung berikut pemaparan yang terhimpun dari Johan, Ibu Lina dan Pak Waluyo. Berawal hari Kamis 26 Maret pukul 16.00 WIB hujan deras disertai es dan angin kencang melanda kawasan Jakarta Selatan dan sekitarnya, termasuk wilayah Ciputat dan Cirendeu. Pukul 23.00 WIB warga mulai mendengar suara gemuruh dari arah tanggul. Pukul 24.00 WIB warga mulai berbenah dan siaga. Jum,at 27 Maret pukul 03.00 WIB warga mulai mendengar suara gemuruh lebih keras dari sebelumnya. Suara berasal dari arah tanggul. Tanggul jebol. Pukul 03.30 air sudah menerjang kampung Situ RT 01/08 Cireundeu, Ciputat, Tangerang, banten. Pukul 04.00 WIB, warga mulai mengungsi. Air Meninggi. Pukul 05.00 WIB, beberapa warga mulai naik ke atap rumah, pertolongan dari warga yang rumahnya tidak terendam. Setelah itu bantuan dari warga berupa sukarelawan terus berdatangan menyelamatkan warga yang masih hidup diterjang air Situ Gintung.
Berita simpang siur yang diterima dari BASARNAS tentang korban yang belum ditemukan, berita ketika itu menyebutkan 115 orang hilang. Sampai dengan tim diterjunkan melakukan operasi di hari ke-5 pasca bencana tidak ditemukan satupun korban. Evaluasi malam akhirnya manyebutkan korban yang belum ditemukan sekitar 12 orang dan dihari keenam operasi rescue air dengan menggunakan perahu dan dibantu tim Amfibi marinir membuahkan hasil, korban ke-100 berhasil ditemukan disekitar tumpukan sampah aliran sungai Pasanggrahan. Kondisi jenazah terjepit kayu besar dan sudah membengkak.
Mengapa tragedi ini bisa terjadi? Ada beberapa analisis penyebab jebolnya Situ Gintung tersebut. Pertama, standar operasi dan pemeliharaan (SOP) kurang begitu ketat diperhatikan. Seharusnya SOP sebuah danau/situ/waduk/bendungan harus dilakukan secara ketat karena sangat rawan bencana bila terjadi kebocoran seperti yang terjadi di Situ Gintung. Operasional danau/situ/waduk/bendungan harus dilakukan secara ketat yaitu dalam hal pengaturan air disesuaikan dengan kapasitas tampungnya. Apabila terjadi masukan air yang melebihi kapasitas yang dapat diketahui dari lubernya air melalui jalur pengeluaran (spillway), maka pintu air harus dibuka. Hal ini yang tidak dilakukan di Situ Gintung (menurut wawancara SBY-Kalla dengan pengelola Situ). Pemeliharaa rutin juga harus dilakukan supaya dapat menangani dengan segera bila terjadi kerusakan.
Kedua, Pengelolaan tata ruang yang tidak dilakukan sesuai aturan. Di sekitar danau/situ/ waduk/bendungan tidak boleh ada bangunan dengan jarak > 200 meter. Pada jarak itu merupakan areal sabuk hijau (greenbelt) yang ditanami tanaman keras sebagai pelindung tanggul. Kenyataannya di Situ Gintung dikelilingi berbagai bangunan bahkan tepat di tanggulnya. Korban bencana Jumat yang lalu berasal dari perkampungan yang berada di sekitar situ.
Ketiga, Kerusakan lingkungan di DAS bagian hulu sungai. Kerusakan hulu sungai yang parah menyebabkan aliran permukaan (run off) langsung masuk ke dalam sungai bersama tanah yang mengalir ke dalam Situ Gintung. Hal itu menyebabkan terjadinya pengendapan di dalam situ yang akhirnya menyebabkan pendangkalan akibat sedimentasi. Kapasitas tampungan akan semakin berkurang yang akan menyebabkan beban tanggul semakin berat ketika terjadi hujan lebat dari hulu sungai. Pengelolaan sungai seharusnya melibatkan berbagai intansi seperti kehutanan, pekerjaan umum, Jasa Tirta, lingkungan hidup yang tergabung dalam one river one management dalm hal ini belum diterapkan di Indonesia. Masing-masing masih berjalan sendiri-sendiri sebatas koordinasi yang masih lemah.
Dengan kejadian ini siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Menurut sumber yang kami dapatkan, pemeliharaan Situ Gintung merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Namun dalam pelaksanaannya pusat melimpahkan tanggung jawab pemeliharaan tersebut ke daerah. Menurut Direktur Jenderal Sumber Daya Air berdasarkan Peraturan Menteri PU No 11A Tahun 2006 tentang kriteria penetapan wilayah sungai Situ Gintung merupakan satuan wilayah sungai (SWS) Ciliwung-Cisadane, yang merupakan wilayah sungai lintas provinsi dan strategis nasional. Di tahun 2008 tepatnya bulan Juli berdasar instruksi menteri pernah diadakan inspeksi mengenai kelayakan Situ, tetapi hasilnya tidak ditemukan masalah di dalam bendungan tersebut. Setelah inspeksi selesai dilakukan kemudian dibuatlah semacam paving block untuk jogging track.” Ujar Iwan.
Dari kejadian ini sudah seharusnya pemerintah berbenah diri, dari info yang kami dapat, anggaran yang dikeluarkan DPR dan disetujui pemerintah untuk konservasi alam hanya berkisar Rp300 miliar. Anggaran tersebut menurut pemerhati lingkungan, Hendarma tito tidaklah mencukupi untuk melakukan perbaikan ratusan Situ yang rusak serta pengawasannya. Karena itu beliau memberikan usulan agar anggaran untuk konservasi lingkungan hidup lebih ditingkatkan. “Anggaran Rp300 miliar mana cukup untuk memperbaiki dan mengawasi ratusan Situ yang ada di seluruh Indonesia”, ujarnya.
Perlu dilakukan kajian dari hulu sampai hilir. Mulai dari inspeksi rutin, hingga penyusunan tata ruang, kalau perlu menurut Iwan harus diadakan land consolidation. Misalnya daerah bantaran bendungan harus menjadi clear area. Kalau ada perumahan harus segera dievakuasi.
Kami PMPR & PG Mahatva mengucapkan belasungkawa dan turut prihatin dengan kejadian tragedi Situ Gintung semoga para korban yang meninggal dunia diterima disisi-Nya, yang dirawat segera sembuh dan keluarga korban yang ditinggalkan diberikan ketabahan dalam menghadapi musibah yang menyedihkan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar