WELCOME

Wilujeng Sumping Untuk Anggota dan Saudara Sesama Pencinta Alam dan Pegiat Alam

Selasa, 02 Maret 2010

SIDANG ISTIMEWA

Saudara-saudara Anggota Mahatva, berdasarkan Mubes tanggal 9 Januari 2009 terdapat beberapa point Anggaran Rumah Tangga yang diusulkan dirubah sehingga perlu diadakan Sidang Istimewa untuk merubah hal tersebut. DP akan mengadakan sidang istimewa tanggal 20 Maret 2010 pukul 10.00-16.00.
Agenda sidang selain perubahan ART adalah peninjauan kembali pengangkatan anggota kehormatan dan lain-lain

Senin, 15 Februari 2010

Pendidikan Dasar Mahatva XV

Alhamdulillah Pendidikan Dasar Mahatva XV telah berakhir dengan sukses...angkatan muda Mahatva bernama ARJUNA (Arungi Rimba dan Berjuang Nikmati Alam) dengan anggota berjumlah enam orang.
1. AMM 001 ARJUNA Jun Jun
2. AMM 002 ARJUNA Revi
3. AMM 003 ARJUNA Regina
4. AMM 004 ARJUNA Arinal
5. AMM 005 ARJUNA Gika
6. AMM 006 ARJUNA Ria



keterangan: dari kiri-kanan: Revi (A'07), Are (C'07), Gika (A'07), Junjun (A'07), Regina (A'09), Ria (A'09)

Semoga angkatan Arjuna bisa menjadi penerus dan meraih impian tuk menjadi pejuang sejati.

Rabu, 10 Juni 2009

Lima Belas Tahun Yang Lalu

28 November, lima belas tahun yang lalu ……..Bermula dari sekumpulan mahasiswa baru
angkatan 92 untuk sekedar syukuran melepas penat usai masa orientasi ke Gunung Manglayang. Mereka yang kebetulan mempunyai kesamaan minat, kecintaan (dan kepedulian) terhadap alam sekitar pada akhirnya mencetuskan ide untuk mendirikan organisasi kegiatan alam bebas. Di Fakultas Pertanian sendiri, sebelumnya telah berdiri unit GPLH, tetapi karena keliatannya sudah lama vakum (kalo tidak mau dikatakan mati suri), serta ada embel-embel ‘Pecinta Lingkungan Hidup’ yang secara moral cukup berat buat kami.
Ide mendirikan organisasi ke-Pecinta Alaman tersebut tetap mengkristal. Adalah ‘Ćantigi’ nama yang dipilih setelah melalui serangkaian longmarch panjang dari Gunung Puntang, Gn.Papandayan, sampai dengan Pangalengan. Tentunya dengan melakukan beberapa treatment layaknya suatu Pendidikan Dasar. Di Papandayan secara resmi Ćantigi diproklamirkan dengan Kang Bule (Fauzan hakim, Sosek92) ditunjuk secara aklamasi bebagai Ketu(a)-nya Keberadaan ‘Ćantigi’ sebagai organisasi (bawah tanah) akhirnya tercium juga oleh para kokolot mahasiswa Fakultas Pertanian. Karena secara etik sudah ada organisasi ‘serupa’ yaitu GPLH itu. Apalagi didirikan oleh mahasiswa yang notabene belum lulus Mabim. Setelah melalui berbagai ‘interogasi’ dicapailah pemufakatan bersama yang nantinya akan meleburkan elemenelemen GPLH dengan Ćantigi. Konkretnya tanggal 27 – 28 November 1993 di Gunung Manglayang akan diadakan pelantikan sekaligus peresmian kembali.
Minggu, 28 November 1993 berdirilah Perhimpunan Mahasiswa Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Mahatva yang beranggotakan mulai dari angkatan 87 sampai dengan angkatan 92 (Angkatan 91 tidak terwakili) dengan Kang Datuk (A Haris N Y, Tekno92) sebagai Ketua Dewan Pengurus. Perjalanan limabelas tahun PMPG-PR Mahatva tidaklah semudah nitip absen waktu kuliah. Dari mulai sekretariat, pendanaan dan perlengkapan, Mahatva harus berjuang dan mengusahakan sendiri (sehingga saat itu dikenal istilah ‘serangan fajar’ atau ‘operasi malam’, tapi Insya Alloh; Halal). Mahatva juga sempat dicap sebagai sarang penyamun, pelarian sampai alat untuk menandingi organisasi kemahasiswaan sekelas Sema-KMFP (Senat Mahasiswa-Keluarga Mahasiswa Fak.Pertanian). Di luar itu semua, semilitan atau seradikal apapun orangnya,anggota Mahatva adalah orang-orang yang loyal terhadap Ketua DP-nya. Jadi tidak ada istilahnya Mahatva Perdjuangan! Dari mulai kepengurusan Ketua DP Kang Datuk, Kang Qokom (Agus Komarudin, Tekno92), Kang Gepeng (Novie Satryawan, Perikanan92). Sehingga melahirkan regenerasi sampai dengan angkatan 2008 ini.Dirgahayu lima belastahun Perhimpunan Mahasiswa Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Mahatva !!! Jabat erat,

Kamis, 28 Mei 2009

Ekspedisi Kerinci dan Eksplorasi Etnobotanical Suku Kubu

Salam Mahatva
Akang-Euceu Anggota PMPR & PG Mahatva kami DP XIII akan mengadakan ekspedisi ke Gunung Kerinci dan ekplorasi etnobotanical pada akhir Oktober. Mohon bantuan informasi dan doa restunya.

Minggu, 12 April 2009

Menuju Pola Pertanian Yang Selaras Dengan Alam

Aldo Leopold, seorang pencinta alam berkata “kita menyia-nyiakan tanah, karena kita memandangnya sebagai barang dagangan milik kita.
Bagai pepatah “Habis Manis Sepah Dibuang” Kita pun seolah habis “menjualnya” kita merasa tak memilikinya lagi. Setelah memperoleh hasil sebanyak mungkin, kita tak berupaya memperhatikan keberlanjutan produktifitas tanah. Dalam konteks tadi kita terpaksa harus berpapasan dengan berbagai hal yang merugikan sebagai akibat penerapan pola system pertanian yang tak sesuai, termasuk penerapan revolusi hijau tanpa pertimbangan untung rugi yang matang.
Berbagai hal yang muncul sebagai fenomena adanya dampak negatif yakni hilangnya berbagai varietas bibit local unggul, yang telah terseleksi resistensinya terhadap berbagai hama penyakit dari tahun ke tahun, seperti yang dikenal orang Timor / Dawan “pen molo, Pen Muti, Penam As toko, Aen Muti, Noek dan sebagainya”; Hilangnya organisme Biotanah, degradasi humus tanah, rusaknya/menurunnya keanekaragaman hayati, serta munculnya berbagai macam penyakit kronis seperti kanker, TBC dan sebagainya serta menciptakan ketergantungan yang besar para petani pada saprodi (sarana produksi) dari luar, seperti pupuk buatan Urea TSP KCL, serta sarana produksi mekanik lainnya.
Padahal, pupuk organik dengan bahan bakunya yang murah dan mudah diperoleh petani belum dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan pertanian kita. Hal ini dapatkah menjadi bahan refleksi kaum petani kita utamanya pada era
krisis moneter (Krismon) yang belum kunjung usai saat ini.
Kondisi Kaum Petani Kita Saat ini
Petani memang malang nasibnya di bumi flobamora ini. Bagai pepatah” sudah jatuh tertimpa tangga lagi. Sudah rendah “SDM-nya, harus berpapasan dengan suasana alam yang begitu tak ramah, gersang, curam, dengan rata-rata hujan
berkisar antara tiga sampai dengan empat bulan saja. Itupun tidak merata, dan sebagainya. Kualitas dunia pertanian kita tergambar melalui expresi aktifitas kaum tani kita yang masih harus terus berbenah diri untuk menjadi “Fani maneo, benas maneo” alias petani yang berkualitas. Beberapa gambaran menjadi wajah suram kaum tani kita antara lain nampak dalam beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, tradisi ketergantungan. Kebiasaan ini nampak dalam beberapa aspek antara lain Lemahnya sistem pendampingan dan edukasi pertanian. Pendampingan masih saja merupakan tuntutan formalitas semata, belum menjadi upaya kemanusiaan, apalagi menyentuh hal-hal substantive, seperti yang dikehendaki Prof. Dr.James Yenn dari Instutule Riset Reasurches (IRR) di Filipina bahwa seorang petugas pendamping lapangan mesti memiliki Credo demikian: ”Datangi mereka, tinggallah bersama dengan mereka, sayangilah mereka, layanilah mereka, bekerjalah bersama mereka, berbuatlah dengan contoh-contoh, mulailah dari apa yang mereka miliki”. Namun kenyataan banyak PPL (Petugas Penyuluhan Lapangan) kita masih menjadi PPL Senin, Kamis dan ABS-APJ (Asal bapak senang dan agar proyek jalan).
Aspek edukasi masih dianggap kaum petani kita sebagai programnya Dinas Pertanian. Inisiatif untuk memperoleh informasi teknis pertanian masih sepenuhnya datang dari pihak luar. Dengan demikian yang terjadi adalah petani kita
belum memiliki kemauan untuk mengembangkan kreativitas, inovasinya secara mandiri. Disisi lain program penyuluhan yang diupayakan pemerintah, dilakukan demi kesuksesan proyek penyuluhan pertanian. Memang sudah lasim bahwa penyuluhan pertanian biasanya dilakukan lebih sering pada kelompok-kelompok sasaran proyek Dinas Pertanian, sementara manfaat dan relevansinya masih patut dipertanyakan.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa aspek pendampingan dan edukasi belum sampai mempengaruhi petani kita, untuk sampai pada proses pengambilan keputusan secara mandiri dan berkualitas. Berkualitas berarti sebuah keputusan telah dipertimbangkan untung ruginya sesuai pengalaman pribadi petani. Berbagai hal sebagai akibat goyahnya prinsip kaum tani kita yang merupakan sebuah kelemahan akibat keputusan yang diambil tanpa suatu pemahaman antara lain nampak dalam hal Pemanfaatan lahan. Selama ini pemanfaatan lahan masih bersifat ramai-ramai (ikut-ikutan) atau mungkin diprogramkan pihak luar. Padahal sebetulnya lahan untuk menanam atau untuk jenis usaha apa, itu mesti menjadi keputusan petani itu sendiri, berdasarkan pengalamannya (hasil uji cobanya) sendiri Sedangkan Pihak luar cukup sebagai fasilitator.
Selain itu, masih ada Ketergantung pasar dan praktek ijon sebagai akibat ketiadaan modal usaha petani. Sebetulnya kalau dilihat lebih jauh, kita kerja lebih banyak menguntungkan kaum kapitalis melalui praktek ijon. Boleh dibilang telah menjadi bagian dari tradisi kaum petani kita dimana mereka meminjam uang untuk mengelolah sawah kemudian mengembalikan dalam bentuk gabah padi dengan
harga yang sangat rendah. Akibatnya pada bulan Oktober sampai Desember petani kita telah ketiadaan pangan dan mulai membeli beras pada kaum pemilik modal (kapitalis) tadi, dengan harga 2-3 kali lipat. Padahal, hasil panen petani kita sebetulnya cukup memadai. Oleh karena itu mestinya para petani kita harus memiliki atau mengusahakan sumber pendapatan lain ( diversifikasi melalui usaha lain (beternak dsb), kredit ataupun lewat menabung untuk kesinambungan kegiatan pertanian.
Kedua, Pengembangkan produk pertanian belum berorientasi pasar. Faktor ini merupakan sebuah kelemahan para petani kita karena belum membaca peluang pasar secara baik. Misalnya, kalau menanam padi, semua tanam padi. Tanaman jagung, semua tanaman jagung. Padahal mungkin pada saat tersebut orang butuh produk pertanian lain. Dengan keseragaman produk pertanian dalam satu musim tanam dapat menimbulkan jatuhnya harga produk pertanian. Olehnya itu petani mesti mengembangkan divertifikasi produk pertanian dalam rangka pemenuhan permintaan pasar, namun hal ini mesti menjadi keputusan petani itu sendiri.
Ketiga, Lemahnya Pengorganisasian petani kita. Banyak kelompok tani yang terbentuk, namun belum berjalan maksimal
seperti yang muncul di desa-desa antara lain taruna tani, pokja tani, wanita tani, kontak tani dan sebagainya. Kelompok-kelompok tersebut kebanyakannya hanya sebagai symbol saja, bahkan ide pembentukannya lebih banyak datang dari pihak luar seperti Dinas Pertanian, Dinas Perternakan, dari Kepala Desa, Camat maupun dari pihak swasta termasuk
http://pemkab-ttu.go.id - :: Portal Kab. Timor tengah Utara :: Powered by Mambo Generated: 30 September, 2007, 16:51 LSM. Padahal sebetulnya kelompok-kelompok tersebut pembentukannya mesti merupakan ide atau prakarsa para petani. Keputusan untuk membentuk kelompok mestinya didasarkan pada kebutuhan petani, sebagai wadah kerja sama,
saling menolong serta dapat menjadi kekuatan di dalam menghadapi kompetisi pasar, terutama di dalam penentuan harga bersama, membangun jaringan pasar dan sebagainya.
Menyadari akan berbagai kondisi tadi, maka diperlukan upaya untuk dapat mengatasi berbagai hal yang merugikan atau merupakan kelemahan kaum petani kita melalui pengembangan Pola pertanian yang lebih cocok serta mudah dan murah dilakukan oleh para petani.
Pertanian selaras Alam sebagai jawaban
Pertanian Selaras alam dikemukakan oleh seorang pakar penyuluh pertanian dari Inggris bernama PRETY yang merupakan staf sekaligus peneliti dari lembaga penelitian dan pengembangan (Institute Riset Reasourches) dengan sebutan LEISA (Low Eksternal Input For Sustainable Agri Cuture) atau merupakan pemakain sarana produksi terbatas dari pertanian yang berkelanjutan. Hal ini dikarenakan LEISA sebagai pola pertanian, di satu sisi dapat menjamin pemenuhan kebutuhan manusia, disisi lain, meningkatkan kulitas lingkungan hidup serta kualitas sumber daya alam. Dengan demikian pertanian harus mampu menghidupi petani, dan tetap menjamin keberlanjutan kegiatan pertanian tanpa mengorbankan keseimbangan ekosistin alam.
Secara umum pertanian selaras alam memiliki beberapa sifat yakni (1) Layak secara ekonomis, artinya bahwa petani
berupaya menghasilkan pangan yang cukup untuk keluarga dengan resiko biaya yang murah; (2) Selaras alam yaitu bahwa kualitas lingkungan hidup dijaga, menjamin stabilitas ekosistim dan mengupayakan berbagai varietas yang telah terseleksi dan tahan terhadap serangan hama;(3) Toleransi akan makna kehidupan dan hakekat penciptaan ilahi. Artinya
Petani menyadari bahwa suatu hal yang terpenting di dalam bertani selaras alam adalah bagaimana berupaya tak mengorbankan aspek-aspek kehidupan lainnya, tetapi melestarikannya demi keberlanjutan usaha pertanian. Secara
spiritual petani terpanggil untuk melanjutkan karya penciptaan Tuhan secara bertanggungjawab; (4) Memperkokoh hak dan posisi Petani. Dalam hal ini Petani memiliki kehendak bebas untuk memilih jenis usaha pertanian maupun saprodi apa yang akan dipakai yang menurut pengalaman petani itu sendiri memiliki kesan tersendiri. Dengan demikian petani bekerja sambil belajar termasuk melakukan uji coba sendiri di dalam mempengaruhi keputusan pribadinya untuk memecahkan berbagai kesulitan yang dihadapinya.
Untuk mewujudkan hal-hal tadi diperlukan beberapa langkah yakni (1) Adaptasi atau penyesuaian, dimana semua
teknologi pertanian baru harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat. Teknologi pertanian yang merusak lingkungan harus ditinggalkan, eksploitasi sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui pun harus dikurangi dengan memanfaatkan bahan-bahan alami; (2) Efisiensi atau Penghematan. Yang dimaksudkan disini adalah membatasi penggunaan saprodi yang merusak lingkungan dan tetap menjamin unsur hara tanah agar tetap lestari melalui pembuatan kompos, pupuk alam dan pestisida alam. Hal ini, selain mengurangi beban biaya dan tenaga dapat pula mengurangi polusi yang berakibat mengganggu kesehatan; (3) Redeisain yakni melakukan perubahan yang mendasar secara bertahap terhadap tradisi pertanian yang merugikan melalui penerapan petani pada sistem pertanian berkelanjutan. Dengan demikian para petani perlahan-lahan dapat menimbah manfaatnya meski harus membutuhkan waktu dan tenaga dalam membuktikannya.
Beberapa hal lain dapat ditemukan di dalam penerapan pola LEISA melalui kegiatan pertanian PTD (Partisipatory Tecnologi Developmand) atau penerapan teknologi pertanian partisipatif antara lain (1) Petani menerima input secara mendalam lalu memecahkan manfaat pertanian selaras alam berdasarkan pengalaman pribadinya tentang berbagai masalah aktual yang dihadapinya; (2) Seleksi yang dilakukan oleh petani disesuaikan dengan keadaan lokal tanpa tergantung dari pihak luar yang belum tentu cocok; (3) Petani berperan sebagai subyek dalam mencoba menerapkan pola yang dipakainya maupun di dalam pengelolaan sumber daya alam hal ini diperlukan kerja sama petani, LSM, Pemerintah dan para pakar serta kalangan kampus di dalam membantu para petani untuk keluar dari kesulitannya.
Langkah-langkah tadi lebih nampak di dalam berbagai kegiatan pertanian seperti perbuatan olah jalur, olah lubang, olah bambu, bundaran pisang, pembuatan kompos 14 hari, pembuatan pestisida alami, pembuatan pupuk ragi kusno, dan sebagainya yang secara rinci dan secara teknis tak diuraikan penulis melalui tulisan ini Kita berupaya menghasilkan pangan yang cukup, tetapi di sisi lain kita pun tak ingin menerima berbagai dampak negatif yang muncul sebagai akibat penerapan pola pertanian yang tak sesuai. Suatu pertanian yang berkelanjutan hanya dapat muncul dan memberi nilai plus jika hak-hak kemandirian petani ditegakkan, sumber daya alam dilestarikan, serta mampu mandiri di atas kreativitas dan inovasi petani itu sendiri. (John Malada)(Penulis adalah Staf Development Program pada LSM Tafenpah TTU dan Anggota DPRD Kabupaten TTU).Infokom

TRAGEDI SITU GINTUNG

Tragedi Situ gintung yang terjadi pada jum’at dini hari tanggal 27 maret 2009, membuat bangsa ini kembali terpana dan semakin menambah daftar bencana di Indonesia yang sungguh tak terduga dan memprihatinkan. Keindahan alam Situ Gintung lenyap dalam hitungan detik ketika salah satu sisi badan bendung (tanggul) jebol akibat tidak mampu menahan luapan air di dalam situ. Menurut perkiraan kapasitas Situ Gintung 2 juta meter kubik dan pada saat jebol diperkirakan air yang ditampung melebihi kapasitas setelah hujan lebat bahkan disertai butiran es.
Dalam upaya membantu pencarian korban tim dari Mahatva dan Sar unpad mengirimkan beberapa orang relawan ke lokasi bencana. Suasana riuh sirine terdengar ketika tim Mahatva yang terdiri dari Bajay, Aciel, Zenny, Babas dan Pipit tiba di lokasi yang terletak di STIE Ahmad Dahlan (STIE AD), Universitas yang tepat berada di depan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang terkena dampak langsung bencana Situ Gintung. Tim diterima oleh Alpiniste (pencinta alam STIE AD), awalnya tim ditempatkan di bagian logistik dalam urusan sandang pengungsi, tak lama setelah mendapatkan info dari tim SAR Unpad kami merapat ke UMJ tepatnya di sekretariat STACIA (pencinta alam UMJ), disana kami bergabung dalam tim evakuasi korban.
Di secretariat STACIA dan di tempat pengungsian korban kami mendapatkan info tentang kronologis tragedi Situ Gintung berikut pemaparan yang terhimpun dari Johan, Ibu Lina dan Pak Waluyo. Berawal hari Kamis 26 Maret pukul 16.00 WIB hujan deras disertai es dan angin kencang melanda kawasan Jakarta Selatan dan sekitarnya, termasuk wilayah Ciputat dan Cirendeu. Pukul 23.00 WIB warga mulai mendengar suara gemuruh dari arah tanggul. Pukul 24.00 WIB warga mulai berbenah dan siaga. Jum,at 27 Maret pukul 03.00 WIB warga mulai mendengar suara gemuruh lebih keras dari sebelumnya. Suara berasal dari arah tanggul. Tanggul jebol. Pukul 03.30 air sudah menerjang kampung Situ RT 01/08 Cireundeu, Ciputat, Tangerang, banten. Pukul 04.00 WIB, warga mulai mengungsi. Air Meninggi. Pukul 05.00 WIB, beberapa warga mulai naik ke atap rumah, pertolongan dari warga yang rumahnya tidak terendam. Setelah itu bantuan dari warga berupa sukarelawan terus berdatangan menyelamatkan warga yang masih hidup diterjang air Situ Gintung.
Berita simpang siur yang diterima dari BASARNAS tentang korban yang belum ditemukan, berita ketika itu menyebutkan 115 orang hilang. Sampai dengan tim diterjunkan melakukan operasi di hari ke-5 pasca bencana tidak ditemukan satupun korban. Evaluasi malam akhirnya manyebutkan korban yang belum ditemukan sekitar 12 orang dan dihari keenam operasi rescue air dengan menggunakan perahu dan dibantu tim Amfibi marinir membuahkan hasil, korban ke-100 berhasil ditemukan disekitar tumpukan sampah aliran sungai Pasanggrahan. Kondisi jenazah terjepit kayu besar dan sudah membengkak.
Mengapa tragedi ini bisa terjadi? Ada beberapa analisis penyebab jebolnya Situ Gintung tersebut. Pertama, standar operasi dan pemeliharaan (SOP) kurang begitu ketat diperhatikan. Seharusnya SOP sebuah danau/situ/waduk/bendungan harus dilakukan secara ketat karena sangat rawan bencana bila terjadi kebocoran seperti yang terjadi di Situ Gintung. Operasional danau/situ/waduk/bendungan harus dilakukan secara ketat yaitu dalam hal pengaturan air disesuaikan dengan kapasitas tampungnya. Apabila terjadi masukan air yang melebihi kapasitas yang dapat diketahui dari lubernya air melalui jalur pengeluaran (spillway), maka pintu air harus dibuka. Hal ini yang tidak dilakukan di Situ Gintung (menurut wawancara SBY-Kalla dengan pengelola Situ). Pemeliharaa rutin juga harus dilakukan supaya dapat menangani dengan segera bila terjadi kerusakan.
Kedua, Pengelolaan tata ruang yang tidak dilakukan sesuai aturan. Di sekitar danau/situ/ waduk/bendungan tidak boleh ada bangunan dengan jarak > 200 meter. Pada jarak itu merupakan areal sabuk hijau (greenbelt) yang ditanami tanaman keras sebagai pelindung tanggul. Kenyataannya di Situ Gintung dikelilingi berbagai bangunan bahkan tepat di tanggulnya. Korban bencana Jumat yang lalu berasal dari perkampungan yang berada di sekitar situ.
Ketiga, Kerusakan lingkungan di DAS bagian hulu sungai. Kerusakan hulu sungai yang parah menyebabkan aliran permukaan (run off) langsung masuk ke dalam sungai bersama tanah yang mengalir ke dalam Situ Gintung. Hal itu menyebabkan terjadinya pengendapan di dalam situ yang akhirnya menyebabkan pendangkalan akibat sedimentasi. Kapasitas tampungan akan semakin berkurang yang akan menyebabkan beban tanggul semakin berat ketika terjadi hujan lebat dari hulu sungai. Pengelolaan sungai seharusnya melibatkan berbagai intansi seperti kehutanan, pekerjaan umum, Jasa Tirta, lingkungan hidup yang tergabung dalam one river one management dalm hal ini belum diterapkan di Indonesia. Masing-masing masih berjalan sendiri-sendiri sebatas koordinasi yang masih lemah.
Dengan kejadian ini siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Menurut sumber yang kami dapatkan, pemeliharaan Situ Gintung merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Namun dalam pelaksanaannya pusat melimpahkan tanggung jawab pemeliharaan tersebut ke daerah. Menurut Direktur Jenderal Sumber Daya Air berdasarkan Peraturan Menteri PU No 11A Tahun 2006 tentang kriteria penetapan wilayah sungai Situ Gintung merupakan satuan wilayah sungai (SWS) Ciliwung-Cisadane, yang merupakan wilayah sungai lintas provinsi dan strategis nasional. Di tahun 2008 tepatnya bulan Juli berdasar instruksi menteri pernah diadakan inspeksi mengenai kelayakan Situ, tetapi hasilnya tidak ditemukan masalah di dalam bendungan tersebut. Setelah inspeksi selesai dilakukan kemudian dibuatlah semacam paving block untuk jogging track.” Ujar Iwan.
Dari kejadian ini sudah seharusnya pemerintah berbenah diri, dari info yang kami dapat, anggaran yang dikeluarkan DPR dan disetujui pemerintah untuk konservasi alam hanya berkisar Rp300 miliar. Anggaran tersebut menurut pemerhati lingkungan, Hendarma tito tidaklah mencukupi untuk melakukan perbaikan ratusan Situ yang rusak serta pengawasannya. Karena itu beliau memberikan usulan agar anggaran untuk konservasi lingkungan hidup lebih ditingkatkan. “Anggaran Rp300 miliar mana cukup untuk memperbaiki dan mengawasi ratusan Situ yang ada di seluruh Indonesia”, ujarnya.
Perlu dilakukan kajian dari hulu sampai hilir. Mulai dari inspeksi rutin, hingga penyusunan tata ruang, kalau perlu menurut Iwan harus diadakan land consolidation. Misalnya daerah bantaran bendungan harus menjadi clear area. Kalau ada perumahan harus segera dievakuasi.
Kami PMPR & PG Mahatva mengucapkan belasungkawa dan turut prihatin dengan kejadian tragedi Situ Gintung semoga para korban yang meninggal dunia diterima disisi-Nya, yang dirawat segera sembuh dan keluarga korban yang ditinggalkan diberikan ketabahan dalam menghadapi musibah yang menyedihkan ini.

L3B (LOMBA LINTAS LEMBAH DAN BUKIT) BANGKIT KEMBALI

Dentuman suara lodong menandakan dibukanya pencanangan dies emas Faperta ke-50. Kang Ganjar Kurnia sebagai rektor Unpad menghadiri acara pembukaan tanggal 15 Maret 2009 di plaza pertanian pukul 07.00. Sungguh luar biasa, dies emas kali ini kembali memunculkan nama lomba lintas lembah dan bukit yang sempat vakum hampir 15 tahun yang lalu. Menurut Dekan Faperta, Prof. Dr. Ir. Hj. Yuyun Yuwariah, M.S., L3B merupakan salah satu kegiatan khas Faperta Unpad. Kegiatan ini dimulai sejak 1962 de ngan mengusung misi penghijauan dan cinta pada alam. Selan itu, L3B juga dijadikan ajang pengenalan Faperta kepada siswa SMA dan reuni bagi alumni Faperta. Lomba lintas lembah dan Bukit dahulu menjadi kejayaan Fakultas Pertanian Unpad karena sangat diminati oleh kalangan pelajar yang waktu itu berada di daerah Dago tea House.
Dalam sambutannya ibu Yuyun mengajak peserta untuk peduli terhadap lingkungan sekitar hal ini dikarenakan kondisi global warming yang melanda dunia saat ini sudah semakin mengkhawatirkan, beliau juga mengajak untuk cinta terhadap pertanian karena bidang inilah satu-satunya yang dapat menghidupkan manusia melalui tanaman pangannya. Aura kesuksesan dan besarnya acara L3B pagi itu begitu terasa, antusiasme peserta sangat tinggi. Acara yang diadakan oleh BEM KMFP unpad bekerja sama dengan PMPR&PG MAHATVA berhasil melampaui target lebih dari 50%. Dengan total tim yang mendaftar sekitar 165 tim. Kategori pelajar, unum serta Mahasiswa mecapai 105 tim dan alumni dan dosen mencapai 60 tim. Satu timnya terdiri dari 3 penjelajah dan 1 official.
L3B selain sebagai ajang promosi Faperta, juga sebagai ajang untuk menghijaukan lingkungan. Oleh karena itu, setiap peserta diwajibkan untuk membuat biopori atau membuat resapan air. Dalam lomba lintas lembah dan bukir ini terdapat 4 kriteria penilaian bagi peserta; pertama ialah kecepatan, lalu ketepatan, kekompakan dan nilai setiap pertanyaan. L3B mengambil rute kurang lebih sepanjang 20 Km dengan 5 pos. Sementara itu Aliya siska, mahasiswa Psikologi angkatan 2006 yang juga peserta L3B mengatakan, medan yang paling berat ialah di antara pos 2 dan 3 di sekitar daerah Barubereum. Medan yang menanjak dan berlumpur membuat lintas lembah dan bukit ini menjadi semakin berat. Namun ia mengaku senang dan tidak kapok untuk mengikuti event serupa tahun depan. Satu hal yang ia sayangkan adalah tanda penunjuk arah. “Petunjuk arahnya masih kurang kang jadi ada tim yang nyasar” katanya.
Affan Muhammad, peserta lainnya, mengatakan hal yang senada. “track yang paling berat itu di antara pos 2 dan pos 3 di daerah puncak Baru Bereum sana. Saya sampai terjungkal beberap kali, saya nggak tahu medannya bakal separah itu. Tapi saya merasa senang”. Siswa SMA Baiturrahman ini
mengaku ingin berpartisipasi kembali pada penyelenggaraan L3B tahun depan. Di dalam 5 pos yang disediakan oleh panitia diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan seputar pertanian. Yang unik peserta memainkan permainan tradisional di pos 2 yaitu ketapel.
Dan di pos 3 pengetahuan tentang bau tanaman rimpang yang terdiri darijahe, kunyit dan sereh. Peserta L3B harus tahu dengan hanya mencium kain yang berisi rimpang tersebut. Jika benar dalam menebak poin plus akan diberikan oleh panitia.
Selain L3B itu sendiri, perayaan hari ulang tahun yang ke-50 Faperta ini juga dimeriahkan dengan panggung hiburan dan bazar pertanian. Bazar pertanian menghadirkan alumnus Fakultas Pertanian yang telah sukses dalam menjalankan bisnis di bidang pertanian. Ada yang telah sukses sebagai supplyer sayur mayur ke berbagai supermarket yang ada dikawasan Bandung. Dalam pemeran kali ini diharapkan masyarakat mendapat pengetahuan bahwa bekerja di bidang pertanian sangat menjanjikan. Dan hal tersebut dapat memacu bagi adik-adik dibangku SMA untuk masuk ke Fakultas Pertanian.