WELCOME

Wilujeng Sumping Untuk Anggota dan Saudara Sesama Pencinta Alam dan Pegiat Alam

Minggu, 12 April 2009

Menuju Pola Pertanian Yang Selaras Dengan Alam

Aldo Leopold, seorang pencinta alam berkata “kita menyia-nyiakan tanah, karena kita memandangnya sebagai barang dagangan milik kita.
Bagai pepatah “Habis Manis Sepah Dibuang” Kita pun seolah habis “menjualnya” kita merasa tak memilikinya lagi. Setelah memperoleh hasil sebanyak mungkin, kita tak berupaya memperhatikan keberlanjutan produktifitas tanah. Dalam konteks tadi kita terpaksa harus berpapasan dengan berbagai hal yang merugikan sebagai akibat penerapan pola system pertanian yang tak sesuai, termasuk penerapan revolusi hijau tanpa pertimbangan untung rugi yang matang.
Berbagai hal yang muncul sebagai fenomena adanya dampak negatif yakni hilangnya berbagai varietas bibit local unggul, yang telah terseleksi resistensinya terhadap berbagai hama penyakit dari tahun ke tahun, seperti yang dikenal orang Timor / Dawan “pen molo, Pen Muti, Penam As toko, Aen Muti, Noek dan sebagainya”; Hilangnya organisme Biotanah, degradasi humus tanah, rusaknya/menurunnya keanekaragaman hayati, serta munculnya berbagai macam penyakit kronis seperti kanker, TBC dan sebagainya serta menciptakan ketergantungan yang besar para petani pada saprodi (sarana produksi) dari luar, seperti pupuk buatan Urea TSP KCL, serta sarana produksi mekanik lainnya.
Padahal, pupuk organik dengan bahan bakunya yang murah dan mudah diperoleh petani belum dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan pertanian kita. Hal ini dapatkah menjadi bahan refleksi kaum petani kita utamanya pada era
krisis moneter (Krismon) yang belum kunjung usai saat ini.
Kondisi Kaum Petani Kita Saat ini
Petani memang malang nasibnya di bumi flobamora ini. Bagai pepatah” sudah jatuh tertimpa tangga lagi. Sudah rendah “SDM-nya, harus berpapasan dengan suasana alam yang begitu tak ramah, gersang, curam, dengan rata-rata hujan
berkisar antara tiga sampai dengan empat bulan saja. Itupun tidak merata, dan sebagainya. Kualitas dunia pertanian kita tergambar melalui expresi aktifitas kaum tani kita yang masih harus terus berbenah diri untuk menjadi “Fani maneo, benas maneo” alias petani yang berkualitas. Beberapa gambaran menjadi wajah suram kaum tani kita antara lain nampak dalam beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, tradisi ketergantungan. Kebiasaan ini nampak dalam beberapa aspek antara lain Lemahnya sistem pendampingan dan edukasi pertanian. Pendampingan masih saja merupakan tuntutan formalitas semata, belum menjadi upaya kemanusiaan, apalagi menyentuh hal-hal substantive, seperti yang dikehendaki Prof. Dr.James Yenn dari Instutule Riset Reasurches (IRR) di Filipina bahwa seorang petugas pendamping lapangan mesti memiliki Credo demikian: ”Datangi mereka, tinggallah bersama dengan mereka, sayangilah mereka, layanilah mereka, bekerjalah bersama mereka, berbuatlah dengan contoh-contoh, mulailah dari apa yang mereka miliki”. Namun kenyataan banyak PPL (Petugas Penyuluhan Lapangan) kita masih menjadi PPL Senin, Kamis dan ABS-APJ (Asal bapak senang dan agar proyek jalan).
Aspek edukasi masih dianggap kaum petani kita sebagai programnya Dinas Pertanian. Inisiatif untuk memperoleh informasi teknis pertanian masih sepenuhnya datang dari pihak luar. Dengan demikian yang terjadi adalah petani kita
belum memiliki kemauan untuk mengembangkan kreativitas, inovasinya secara mandiri. Disisi lain program penyuluhan yang diupayakan pemerintah, dilakukan demi kesuksesan proyek penyuluhan pertanian. Memang sudah lasim bahwa penyuluhan pertanian biasanya dilakukan lebih sering pada kelompok-kelompok sasaran proyek Dinas Pertanian, sementara manfaat dan relevansinya masih patut dipertanyakan.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa aspek pendampingan dan edukasi belum sampai mempengaruhi petani kita, untuk sampai pada proses pengambilan keputusan secara mandiri dan berkualitas. Berkualitas berarti sebuah keputusan telah dipertimbangkan untung ruginya sesuai pengalaman pribadi petani. Berbagai hal sebagai akibat goyahnya prinsip kaum tani kita yang merupakan sebuah kelemahan akibat keputusan yang diambil tanpa suatu pemahaman antara lain nampak dalam hal Pemanfaatan lahan. Selama ini pemanfaatan lahan masih bersifat ramai-ramai (ikut-ikutan) atau mungkin diprogramkan pihak luar. Padahal sebetulnya lahan untuk menanam atau untuk jenis usaha apa, itu mesti menjadi keputusan petani itu sendiri, berdasarkan pengalamannya (hasil uji cobanya) sendiri Sedangkan Pihak luar cukup sebagai fasilitator.
Selain itu, masih ada Ketergantung pasar dan praktek ijon sebagai akibat ketiadaan modal usaha petani. Sebetulnya kalau dilihat lebih jauh, kita kerja lebih banyak menguntungkan kaum kapitalis melalui praktek ijon. Boleh dibilang telah menjadi bagian dari tradisi kaum petani kita dimana mereka meminjam uang untuk mengelolah sawah kemudian mengembalikan dalam bentuk gabah padi dengan
harga yang sangat rendah. Akibatnya pada bulan Oktober sampai Desember petani kita telah ketiadaan pangan dan mulai membeli beras pada kaum pemilik modal (kapitalis) tadi, dengan harga 2-3 kali lipat. Padahal, hasil panen petani kita sebetulnya cukup memadai. Oleh karena itu mestinya para petani kita harus memiliki atau mengusahakan sumber pendapatan lain ( diversifikasi melalui usaha lain (beternak dsb), kredit ataupun lewat menabung untuk kesinambungan kegiatan pertanian.
Kedua, Pengembangkan produk pertanian belum berorientasi pasar. Faktor ini merupakan sebuah kelemahan para petani kita karena belum membaca peluang pasar secara baik. Misalnya, kalau menanam padi, semua tanam padi. Tanaman jagung, semua tanaman jagung. Padahal mungkin pada saat tersebut orang butuh produk pertanian lain. Dengan keseragaman produk pertanian dalam satu musim tanam dapat menimbulkan jatuhnya harga produk pertanian. Olehnya itu petani mesti mengembangkan divertifikasi produk pertanian dalam rangka pemenuhan permintaan pasar, namun hal ini mesti menjadi keputusan petani itu sendiri.
Ketiga, Lemahnya Pengorganisasian petani kita. Banyak kelompok tani yang terbentuk, namun belum berjalan maksimal
seperti yang muncul di desa-desa antara lain taruna tani, pokja tani, wanita tani, kontak tani dan sebagainya. Kelompok-kelompok tersebut kebanyakannya hanya sebagai symbol saja, bahkan ide pembentukannya lebih banyak datang dari pihak luar seperti Dinas Pertanian, Dinas Perternakan, dari Kepala Desa, Camat maupun dari pihak swasta termasuk
http://pemkab-ttu.go.id - :: Portal Kab. Timor tengah Utara :: Powered by Mambo Generated: 30 September, 2007, 16:51 LSM. Padahal sebetulnya kelompok-kelompok tersebut pembentukannya mesti merupakan ide atau prakarsa para petani. Keputusan untuk membentuk kelompok mestinya didasarkan pada kebutuhan petani, sebagai wadah kerja sama,
saling menolong serta dapat menjadi kekuatan di dalam menghadapi kompetisi pasar, terutama di dalam penentuan harga bersama, membangun jaringan pasar dan sebagainya.
Menyadari akan berbagai kondisi tadi, maka diperlukan upaya untuk dapat mengatasi berbagai hal yang merugikan atau merupakan kelemahan kaum petani kita melalui pengembangan Pola pertanian yang lebih cocok serta mudah dan murah dilakukan oleh para petani.
Pertanian selaras Alam sebagai jawaban
Pertanian Selaras alam dikemukakan oleh seorang pakar penyuluh pertanian dari Inggris bernama PRETY yang merupakan staf sekaligus peneliti dari lembaga penelitian dan pengembangan (Institute Riset Reasourches) dengan sebutan LEISA (Low Eksternal Input For Sustainable Agri Cuture) atau merupakan pemakain sarana produksi terbatas dari pertanian yang berkelanjutan. Hal ini dikarenakan LEISA sebagai pola pertanian, di satu sisi dapat menjamin pemenuhan kebutuhan manusia, disisi lain, meningkatkan kulitas lingkungan hidup serta kualitas sumber daya alam. Dengan demikian pertanian harus mampu menghidupi petani, dan tetap menjamin keberlanjutan kegiatan pertanian tanpa mengorbankan keseimbangan ekosistin alam.
Secara umum pertanian selaras alam memiliki beberapa sifat yakni (1) Layak secara ekonomis, artinya bahwa petani
berupaya menghasilkan pangan yang cukup untuk keluarga dengan resiko biaya yang murah; (2) Selaras alam yaitu bahwa kualitas lingkungan hidup dijaga, menjamin stabilitas ekosistim dan mengupayakan berbagai varietas yang telah terseleksi dan tahan terhadap serangan hama;(3) Toleransi akan makna kehidupan dan hakekat penciptaan ilahi. Artinya
Petani menyadari bahwa suatu hal yang terpenting di dalam bertani selaras alam adalah bagaimana berupaya tak mengorbankan aspek-aspek kehidupan lainnya, tetapi melestarikannya demi keberlanjutan usaha pertanian. Secara
spiritual petani terpanggil untuk melanjutkan karya penciptaan Tuhan secara bertanggungjawab; (4) Memperkokoh hak dan posisi Petani. Dalam hal ini Petani memiliki kehendak bebas untuk memilih jenis usaha pertanian maupun saprodi apa yang akan dipakai yang menurut pengalaman petani itu sendiri memiliki kesan tersendiri. Dengan demikian petani bekerja sambil belajar termasuk melakukan uji coba sendiri di dalam mempengaruhi keputusan pribadinya untuk memecahkan berbagai kesulitan yang dihadapinya.
Untuk mewujudkan hal-hal tadi diperlukan beberapa langkah yakni (1) Adaptasi atau penyesuaian, dimana semua
teknologi pertanian baru harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat. Teknologi pertanian yang merusak lingkungan harus ditinggalkan, eksploitasi sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui pun harus dikurangi dengan memanfaatkan bahan-bahan alami; (2) Efisiensi atau Penghematan. Yang dimaksudkan disini adalah membatasi penggunaan saprodi yang merusak lingkungan dan tetap menjamin unsur hara tanah agar tetap lestari melalui pembuatan kompos, pupuk alam dan pestisida alam. Hal ini, selain mengurangi beban biaya dan tenaga dapat pula mengurangi polusi yang berakibat mengganggu kesehatan; (3) Redeisain yakni melakukan perubahan yang mendasar secara bertahap terhadap tradisi pertanian yang merugikan melalui penerapan petani pada sistem pertanian berkelanjutan. Dengan demikian para petani perlahan-lahan dapat menimbah manfaatnya meski harus membutuhkan waktu dan tenaga dalam membuktikannya.
Beberapa hal lain dapat ditemukan di dalam penerapan pola LEISA melalui kegiatan pertanian PTD (Partisipatory Tecnologi Developmand) atau penerapan teknologi pertanian partisipatif antara lain (1) Petani menerima input secara mendalam lalu memecahkan manfaat pertanian selaras alam berdasarkan pengalaman pribadinya tentang berbagai masalah aktual yang dihadapinya; (2) Seleksi yang dilakukan oleh petani disesuaikan dengan keadaan lokal tanpa tergantung dari pihak luar yang belum tentu cocok; (3) Petani berperan sebagai subyek dalam mencoba menerapkan pola yang dipakainya maupun di dalam pengelolaan sumber daya alam hal ini diperlukan kerja sama petani, LSM, Pemerintah dan para pakar serta kalangan kampus di dalam membantu para petani untuk keluar dari kesulitannya.
Langkah-langkah tadi lebih nampak di dalam berbagai kegiatan pertanian seperti perbuatan olah jalur, olah lubang, olah bambu, bundaran pisang, pembuatan kompos 14 hari, pembuatan pestisida alami, pembuatan pupuk ragi kusno, dan sebagainya yang secara rinci dan secara teknis tak diuraikan penulis melalui tulisan ini Kita berupaya menghasilkan pangan yang cukup, tetapi di sisi lain kita pun tak ingin menerima berbagai dampak negatif yang muncul sebagai akibat penerapan pola pertanian yang tak sesuai. Suatu pertanian yang berkelanjutan hanya dapat muncul dan memberi nilai plus jika hak-hak kemandirian petani ditegakkan, sumber daya alam dilestarikan, serta mampu mandiri di atas kreativitas dan inovasi petani itu sendiri. (John Malada)(Penulis adalah Staf Development Program pada LSM Tafenpah TTU dan Anggota DPRD Kabupaten TTU).Infokom

2 komentar: