WELCOME

Wilujeng Sumping Untuk Anggota dan Saudara Sesama Pencinta Alam dan Pegiat Alam

Rabu, 18 Maret 2009

Fenomena Pendidikan Dasar Mahatva XIV

Salam mahatva, akang/euceu sobat Mahatva syukur kami panjatkan kepada Tuhan semesta alam karena acara terbesar organisasi ini telah selesai dilaksanakan. Kalau Akang/euceu berada di sekitar plasa pertanian tepatnya tanggal 11 februari 2009 kemarin pukul 12.15 WIB para pejuang sejati baru dengan jumlah 15 orang anggota tiba di kampus pertanian. Rasa bangga dan haru menyelimuti seluruh peserta, panitia dan undangan. Perjuangan yang tidak ringan harus dihadapi peserta pendidikan dan juga panitia yang telah berusaha keras menyiapkan segalanya untuk kelancaran acara.
Pendidikan dasar Mahatva kali ini terlihat lebih istimewa dan menarik terutama dari jumlah anggota yang mengikuti pendidikan ini. Tak lebih 15 orang siswa yang berhasil menjadi anggota muda mahatva. Yang menarik adalah diumur mahatva yang ke-15 jumlah anggota yang lulus adalah 15 orang, entah suatu kebetulan atau suatu pertanda bahwa saatnya Mahatva bangkit menjadi organisasi yang exis dan terus menjadi penyemarak di setiap kegiatan yang ada di fakultas ataupun di luar fakultas, amien..
Tak hanya itu pendidikan dasar kali ini begitu mengesankan bagi panitia, “Mantaplah panitianya bisa kalah jumlah sama peserta” kata denny sebagai komandan operasi. Sudah lima tahun jumlah anggota muda tidak sebanyak ini. Lika-liku sebelum PDM begitu terasa dari permasalahan intern maupun ekstern. Salah satunya adalah sampai pendidikan dasar dimulai tanggal 2 februari mutlak kami hanya mengandalkan uang dari kas organisasi dan sumbangan dari anggota. Alhamdulillah dukungan dari semua angkatan yang ada semua kendala bisa diatasi dengan baik dan acara berjalan lancar.
Untuk anggota muda Mahatva dengan nama angkatan Harimau (Hadapi Rimba Dan Malam Berkabut) perjuangan ini belumlah selesai. Perjuangan di Mahatva yang sesungguhnya menunggu kalian. Terus berjuang untuk menjadi seorang Mahatva seorang “Pejuang Sejati”. Hidup Mahatva dan Jaya Faperta.

TEMUKAN ARTI HIDUP DENGAN MENDAKI GUNUNG DAN BERTUALANG


Mendaki gunung bukanlah hal aneh bagi kita seorang mahasiswa pertanian, khususnya kami seorang anggota PMPR & PG Mahatva. Mungkin bagi orang lain, kegiatan mendaki gunung selalu mengundang pertayaan klise: mau apa sih kesana ? ga ada kerjaan lain? pertanyaan sederhana, tetapi sering membuat bingung, atau bahkan membuat kesal. Beragam jawaban boleh muncul. Soe hok Gie, salah seorang pendiri Mapala UI, menulisnya dalam sebuah puisi: “Aku cinta Pangrango, karena aku mencintai keberanian hidup.” Sebuah kata yang membangkitkan pemuda untuk mencoba melihat dan mendalami pesona alam, termasuk diriku yang berada di fakultas ini pada tahun 2005.

Motivasi mendaki gunung memang bermacam-macam. Manusia mempunyai kebutuhan psikologis seperti halnya kebutuhan-kebutuhan lainnya: kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan untuk berprestasi, dan kebutuhan untuk diakuai oleh masyarakat dan bangsanya. Mendaki gunung adalah salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut disadari atau tidak. Semua ini sah tentu saja.

Sebenarnya yang paling mendasar dari semua motivasi itu adalah rasa ingin tahu yang menjadi jiwa setiap manusia. Anak kecil selalu mengungkapkan rasa ingin tahu mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang sering membingungkan orang tuanya. Mereka lebih peka terhadap alam sekitarnya. Mereka jauh lebih mampu mendalami alam disekitarnya daripada orang dewasa. Kontak dengan alam merupakan proses belajar yang baik baginya. Ketika mereka dewasa, kepolosan itu menghilang dan alam tidak begitu menarik lagi di dunia modern seperti sekarang. Kepolosan itulah yang mungkin kembali pada setiap pencinta alam, petualang, dan ilmuwan.

Rasa ingin tahu adalah dasar untuk mendaki gunung dan petualangan lainnya. Keingintahuan itu setara dengan rasa ingin tahu seorang bocah, dan inilah yang mendorong keberanian dan ketabahan untuk menghadapi tantangan alam. Satu hal yang terus tertanam adalah teruslah berjalan raih puncak tertinggi, tuk menjadi pejuang sejati. Kata Mahatva begitu lekat dalam hati yang memiliki arti ”pejuang sejati”. Dalam berjalan, Ku temukan suatu rasa yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Perasaan takjub kan keindahan yang telah diberikan kepadaNya. Lelah ketika perjalanan dan penat menghadapi situasi kampus yang membosankan sirna sudah ketika harus mendaki meninggalkan hiruk pikuk permasalahan.

Dalam mendaki kita perlu mengetahui ilmu-ilmu mengenai kegiatan alam terbuka. Khususnya management perjalanan, di organisasi inilah kami dibimbing untuk dapat memenage diri ketika berada di alam terbuka. Satu kata dalam berkegiatan di alam terbuka adalah “alam tak kenal kata kompromi”, di saat lengah dan takut alam dapat membunuh seorang petualang atau pendaki. Tapi disinilah Ku temukan seni dalam mendaki gunung. Keberanian dan ketabahan yang dibutuhkan ketika mendaki gunung hanya sebagian kecil dari hidup kita. Bahaya yang mengancam jauh lebih banyak ada di dunia perkotaan ketimbang di gunung, hutan, di dalam gua, atau dimana saja di alam terbuka. Bayangkan! mobil-mobil yang berseliweran kencang di jalan-jalan raya dan selalu siap mencabut nyawa kita, Bayangkanlah! aksi-aksi kriminal yang mengancam di kota-kota. Di dunia peradaban modern, begitu banyak masalah yang membutuhkan keberanian dan ketabahan untuk menyelesaikannya.

Seorang psikolog pernah mengatakan, bahwa mereka yang menggemari petualang di alam bebas adalah orang-orang yang mencintai kematian, amor fati. Ini adalah pendapat yang sangat keliru, kenapa? karena mereka sebenarnya begitu menghargai kehidupan ini. Ada keinginan untuk memberi arti yang lebih bernilai dalam hidup. Mereka bertualang di alam bebas untuk mencari arti hidup sebenarnya. Tak berlebihan bila seoarng ahli filsafat mengatakan: “Di dalam hutan dan alam bebas aku merasa menjadi manusia kembali.”

Petualang atau pendaki yang tewas di gunung bukanlah orang yang mencintai kematian. Kematiannya itu sebenarnya tak berbeda dengan kematian orang lain yang tertabrak mobil di jalan raya atau terbunuh perampok. Yang pasti, orang tersebut tewas justru dalam usahanya dalam menghargai kehidupan ini. “Hidup itu harus lebih dari sekedarnya,” tulis Budi Laksmono dari Mapala UI, 25 Februari 1985.

George F. Maloory, Soe Hok Gie , Peter Boardman, Budi Laksmono, dan banyak petualang lainnya adalah mereka yang sangat menghargai kehidupan! So temukan arti hidup sebenarnya dengan mendaki dan berpetualang.

”Pegunungan adalah tempat paling kuat di Bumi,

dan menuntut penghormatan tertinggi”

(Erik Weihenmayer)